Baca Juga :
Luwu Timur, Batarapos.com
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita. Indikator ini merupakan gambaran nilai tambah yang dapat diciptakan oleh setiap penduduk sebagai akibat dari adanya aktivitas produksi.
Angka PDRB perkapita atas dasar harga konstan (ADHB) Kabupaten Luwu Timur selama kurun waktu 2013-2017 berfluktuasi. Tahun 2013 hingga 2014 nilainya terus meningkat, dari 63,35 juta rupiah hingga mencapai 70,63 juta rupiah. Namun 2 tahun berikutnya, semakin menurun hingga pada tahun 2016, nilainya menjadi 67,68 juta rupiah. Pada tahun 2017 nilainya kembali meningkat hingga mencapai 70,34 juta rupiah dan angka ini sekaligus menempatkan Kabupaten Luwu Timur pada urutan kedua setelah Kota Makassar.
Sementara atas dasar harga konstan, tren naik terjadi selama tahun 2013-2015. Dari 48,35 juta rupiah, terus meningkat hingga menjadi 53,09 juta rupiah. Tahun berikutnya, nilai tersebut turun menjadi 52,74 juta rupiah dan kembali naik pada tahun 2017 menjadi 53,21 juta rupiah.
Meskipun indikator ini belum bisa menggambarkan pendapatan perkapita penduduk suatu wilayah, namun kesejahteraan masyarakat dari aspek ekonominya dapat diukur dengan tingkat pendapatan riil masyarakat perkapita. PDRB perkapita dihasilkan dari PDRB suatu daerah dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun daerah tersebut. Bila pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk, maka PDRB perkapita akan naik, namun sebaliknya bila pertumbuhan penduduk lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi, maka PDRB perkapita akan turun.
Dampak dari adanya pertambangan nikel di Desa Sorowako, Kecamatan Nuha, PDRB perkapita Kabupaten Luwu Timur menjadi sangat tinggi. Hal ini perlu dipahami sangat hati-hati karena angka perkapita tersebut belum tentu dapat dinikmati oleh penduduk secara riil. Artinya pendapatan tersebut ”nisbi” disebabkan oleh tidak semua penduduk terlibat secara langsung dalam proses produksi pertambangan. (ikp/kominfo)