Baca Juga :
Burau, Batara Pos
Program rehabilitasi kebun kakao milik warga Desa Lambarese saat ini diwarnai polemik, hal ini terungkap saat pertemuan anggota kelompok tani pada senin 22/01/2018 di rumah salah satu pengurus kelompok Tani Buyumpoku Desa Lambarese.
Dari sejumlah anggota kelompok tani yang menghadiri pertemuan rutin ini secara ramai - ramai mengkritik adanya arahan Dinas Pertanian melalui BPP Kecamatan Burau terkait program rehabilitasi kebun kakao milik petani setempat.
Menurut penuturan salah satu anggota kelompok kalau awalnya mereka dianjurkan untuk melakukan penebangan pada lokasi perkebunan petani karena adanya program rehabilitasi kebun yang dianggap sudah layak diremajakan (diganti) red* .
Pada pertengahan Oktober 2017 lalu, petani dijanjikan bantuan bibit untuk segera menggantikan tanaman kakao yang mereka sudah tebang bersama. Beberapa petani mengaku sudah menebang habis tanaman kakao mereka karena berharap bantuan bibit yang seperti yang sudah disampaikan melalui BPP bersama pengurus kelompok tani. Hingga memasuki januari 2018 ini bantuan bibit tersebut tak kunjung datang pada akhirnya petani merasa kecewa dan tertipu.
“Kenapa kami disuruh tebang pohon coklat karena kata kami akan dibantu bibitnya pada November lalu, ternyata sampai detik ini tidak ada makanya kami merasa tertipu” Ujar Rivai. Keterangan Rivai juga diaminkan Osmin bahwa kebijakan ini terkesan dipaksakan dan sudah merugikan kami petani. Menurut Osmin ada beberapa teman sekelompoknya sudah tidak dapat memetik kakao karena habis ditebang. Para petani mempertanyakan siapa yang harus bertanggung jawab kepada kerugian petani.
Ditempat yang sama koordinator BP3K menjelaskan bahwa terkait kebijakan itu pihaknya tidak punya kewenangan lagi karena menurutnya hal ini sudah ditangani Dinas Pertanian provinsi. “Sebenarnya kemarin itu memang ada permintaan rehabilitasi kebun petani dari Dinas tetapi itu untuk program 2018, namun saya fikir tidak ada salahnya kita masukkan akhir 2017 karena siapa tahu cepat ji keluar, ternyata tidak dan saya mohon kiranya hal ini dapat diambil hikmahnya” tuturnya.
Menurut koordinator BP3K bahwa keterlambatan pengadaan bibit tersebut ternyata terkendala karena bibit yang dijanjikan para petani sudah tidak layak tanam karena kondisinya sudah berumur 8 bulan, sedang bibit yang dianjurkan adalah bibit yang berumur 3 bulan. Diketahui pula kalau tempat penangkaran bibit tersebut berada di Kabupaten Soppeng.
Karenanya program ini dipertanyakan kelayakannya oleh petani bahwa apakah di Luwu Timur ini sudah tidak mampu menyediakan bibit kakao sendiri padahal kita dikenal daerah penghasil kakao terbaik di Sulawesi Selatan.
Laporan : Mul
Editor : Astri