Baca Juga :
Makassar, batarapos.com - Kawasan Pasar Sentral Makassar (New Makassar Mall), merupakan aset pemerintah kota makassar, yang sebagian pengelolaannya diberikan kepada pihak PT. Melati Tunggal Inti Raya (PT.MTIR). Dimana setiap pengelolaan barang milik Negara atau Daerah tentunya tidak terlepas dari kaidah maupun norma hukum yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah, bahwa pengelolaan barang milik Negara atau Daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai.
Merujuk pada persoalan antara pedagang Pasar Sentral Makassar, seperti yang diketahui hingga saat ini perseteruan antara para pedagang dan pengelola Pasar Sentral Atau New Makassar Mall PT.MTIR belum berakhir, bahkan sementara masih dalam proses persidangan Pengadilan Negeri Makassar dengan No.perkara 376/pdt.G/2018/PN.MKS yang lagi bergulir.
Mereka beranggapan perjanjian khususnya pada Adendum kelima antara Pemerintah kota Makassar dengan PT. Melati Tunggal Inti Raya yang begitu kompleks dan simpang siur adalah bukti nyata adanya perilaku administratif yang cacat hukum, artinya tidak menimbang keberlakuan norma hukum yang berlaku.
Adanya perubahan terhadap konstruksi bangunan Pasar Sentral Makassar saat ini, sebagai bahagian salah satunya dari pokok permasalahan kata seorang pedagang yang diketahui bernama M. Ridjal Adelansyah S, dihadapan media, 31/5/2019.
Selain itu penilaian data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam setiap alas hak para pedagang terkesan kini menjadi kabur. Padahal jika merujuk pada perjanjian kerjasama No. 44/511.2/SP/HK Tanggal 26 Juli 1991 Adendum ke lima No. 511.2/349/VI/S.Perja/PD.Psr/2012, Sama sekali tidak memberikan keleluasaan terhadap pihak pengembang untuk melakukan perubahan terhadap konstruksi bangunan.
"Melihat Pasal 6 ayat (2 - 4) tidak satupun yang mendalilkan adanya pemberian kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap konstruksi bangunan. Sehingga sangat patut kiranya untuk melakukan kajian terhadap muatan adendum dan mengembalikan prinsip – prinsip kerjasama sebagaimana perjanjian yang dibuat sejak tahun 1991", ucap M. Ridjal Adelansyah S.
Asas pacta sunt servanda adalah asas yang menerangkan tentang perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang, sangat jelas diatur dalam 1338 BW/KUHPerdt. Kendati demikian norma tersebut cenderung dihiraukan sebab dianggap tidak berlaku dalam sistem penetapan kebijakan daerah, dan dianggap hanya berlaku bagi setiap individu yang membuat perjanjian dengan individu lainnya.
Kewenangan Pemerintah Daerah untuk menetapkan suatu kebijakan itu harus berlandaskan prinsip-prinsip sebagaimana peraturan Undang-Undang 32 Tahun 2004 juncto Undang-Undang No.23 Tahun 2014 Tentang pemerintahan Daerah; Lihat Penjelasan Umum angka (1), sangat jelas dikatakan bahwa :
“Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat”
Karena sebab itu lanjut Ridjal Adelansyah,
Diduga pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah Kota Makassar terhadap pelbagai instrument yang diberlakukan oleh pihak pengembang terhadap pedagang Pasar Sentral Makassar tidak wajar.
"Seharusnya sebagai pemangku kebijakan, dalam hal pengambilan keputusan sangatlah penting untuk menimbang pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. Persoalan yang terjadi dipasar Sentral Makassar bukan hanya persoalan legalisasi untuk memperoleh atau mengambil manfaat atas lahan dan bangunan yang ada diatasnya. Terlebih jika kita hanya memandang persoalan antara pedagang dan pihak pengembang sebatas masalah penetapan harga kios", cetusnya.
Dapat diingat pada Tahun 2011 pusat perbelanjaan kota makassar “Pasar Sentral” dilalap si jago merah yang sampai saat ini, tak satupun pihak yang dapat membuktikan kebenaran fakta sebagaimana yang diisukan pihak tertentu kepada media, bahwa penyebab terjadinya kebakaran diduga adalah adanya arus pendek kosleting listrik.
Tiga tahun pasca kebakaran, pada awal Tahun 2014 kembali terjadi kebakaran dalam skala kecil, kemudian pada pertengahan bulan Mei Tahun 2014 lagi-lagi kembali terjadi kebakaran bahkan dengan skala yang lebih besar, sehingga mengakibatkan lapak-lapak serta kios semi permanen milik pedagang Pasar Sentral yang didirikan pada tahun 2011 beserta seluruh dagangannya habis terbakar.
Melihat hal tersebut diatas, hal yang paling utama yang harus menjadi pertimbangan adalah, apa penyebab kebakaran, sejauh mana pihak atau instansi berwenang menyikapi dan menyelidiki penyebab kebakaran yang sebenarnya, dan bagaimana sikap yang diambil oleh Walikota Makassar yang menjabat saat itu.
Pertama, Tidak progresnya penegak hukum dan pemangku kebijakan untuk mengetahui penyebab terjadinya kebakaran, berdampak pada lahirnya pelbagai implikasi dan penerapan instrument baru, yang membuat kepastian hukum dan fakta hukumnya menjadi kabur. Misalnya, Pihak PT. MTIR mendalilkan bahwa sertifikat yang dipegang oleh pedagang saat ini sudah tidak berlaku, karena bangunannya sudah rubuh.
Kedua, Keputusan pemerintah Kota Makassar untuk melakukan pembongkaran terhadap sisa bangunan “Bekas Kebakaran” tidak tepat, dan terkesan terburu-buru, Padahal sangat dimungkinkan untuk melakukan upaya penyelidikan terhadap penyebab terjadinya kebakaran.
Enam tahun sudah berlalu, dengan pelbagai rentetan masalah dan fakta hukum yang ada hanya dipandang sebatas persoalan harga. Menjelang penetapan harga pun diwarnai berbagai kegiatan yang luput dari perhatian penegak hukum.
Padahal ada banyak penerapan konsep Gimmick yang dilakukan oleh pihak pengembang untuk mengelabui pedagang pasar sentral makassar dengan maksud mengadakan jual-beli ulang. Parahnya surat edaran bertendens perbuatan melawan hukum “intimidasi”, tidak mendapatkan perhatian khusus oleh instansi yang berwenang.
Sekelumit persoalan yang ada di Pasar Sentral Makassar harusnya mendapatkan perhatian khusus oleh instansi yang berwenang. Penerapan hukum tidaklah serta merta untuk diterapkan sebelum memahami fakta lapangan.
Pada prinsipnya hukum dibuat sebagai alat untuk mengatur masyarakat, akan tetapi kecenderungan penegak hukum yang buta terhadap fakta, salah dalam menerapkan aturan. Hukum yang seharusnya menghadirkan manfaat bagi sebanyak banyaknya masyarakat justru dipandang sebagai alat penguasa untuk menindas rakyat. Hal itu terjadi apabila aturan yang diterapkan tidaklah sesuai dengan fakta hukum yang terjadi.
Proses perubahan terhadap kontrak kerjsama pemerintah Kota Makassar dengan Pihak PT. Melati Tunggal Inti Raya adalah salah satu bukti, pemerintah kota makassar tidak menimbang secara matang bagaimana dan apa fakta hukum yang terjadi.
Sejak kontrak kerjasama antara Pemerintah Kota Makassar bersama PT. Melati Tunggal Inti Raya dalam hal pelimpahan sebagian kewenangan untuk mengolah barang milik Negara atau Daerah terjadi tiga kali kebakaran. Seharusnya pemerintah kota Makassar perlu menimbang kelayakan pemberian dan/atau perjanjian kontrak kerjasama bersama dengan PT. Melati Tunggal Inti Raya untuk saat ini, sebab dalam praktinya sangat jauh dari prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
Ridjal Adelansyah mengajak melihat secara seksama pada ketentuan Pasal 5 Adendum ke lima, diterangkan bahwa batas waktu perjanjian kersama ini diperpanjang selama 25 Tahun. Kekeliruan menafsirkan sifat kerjsama terdahulu, yang dibuat sejak pertama kali akan berdampak fatal dan menimbulkan persoalan. Kalau kita melihat bentuk maupun sifat kerjsama yang dibuat pada tahun 1991 sangat memenuhi prinsip perjanjian kerja sama yang bersifat BOT (Build operate and Transfer) atau perjanjian yang bersifat bangun guna serah.
Adapun yang dimaksud dengan Bangun Guna Serah adalah konsep perjanjian dalam hal pemanfaatan barang milik Negara atau Daerah berupa tanah yang diberikan kepada pihak lain dengan maksud mendirikan bangunan dan/atau fasilitas yang kemudian didaya gunakan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat, yang selanjutnya tanah beserta fasilitasnya diserahkan kembali setelah jangka waktunya berakhir.
Tidak hanya itu pada Pasal 10 ayat (2) berdasarkan Perjanjian No. 44/551.2/SP/HK yang dibuat pada Tanggal 26 Juli 1991
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa :
“Setelah berakhirnya masa kerjasama tanpa proses dan tuntutan ganti rugi atau tuntutan apapun juga, maka tanah dan bangunan berikut fasilitasnya menjadi milik pihak pertama dalam keadaan baik dan terawat”
Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 11 ayat (3) dalam surat perjanjian antara pemerintah kota Makassar dengan PT. Melati Tunggal Inti Raya menjelaskan bahwa :
“Dalam hal mengelola Pasar Sentral Makassar selama jangka waktu perjanjjian tersebut menurut Pasal 10 ayat (1) berada dibawah pembinaan/pengawasan pihak pertama”
Jadi sangat beralasan kuat, untuk mengkaji ulang sekaligus mempertimbangankan pemeberian Hak Pengelolaan (HPL) kepada pihak developer Pasar Sentral Makassar. Terlebih lagi saat kita melihat bagaimana interpretasi terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1) dalam Adendum ke 5, yang didalamnya menjelaskan bahwa :
“Dengan ditandatanganinya perjanjian ini, maka para pihak sepakat bahwa hal - hal dalam perjanjian kerjasama Nomor 44/511.2/SP/HK tanggal 26 Juli 1991 beserta adendum yaitu masing - masing secara berurut, adendum pertama nomor : 140/511.2/SP/HK tanggal 28 Desember 1991, Adendum kedua nomo; 511.2/118/SP/HK tanggal 5 Mei 1993, Adendum ketiga nomor; 511.2/039/S.Perja/HK Tanggal 20 Maret 1995 yang bertentangan dengan apa yang diatur dalam perjanjian ini dinyatakan tidak berlaku lagi”.
"Melihat secara tekstual, saya menggaris bawahi penggunakan kalimat “yang bertentangan”. Pertanyaannya adalah peraturan manakah yang dianggap bertentangan dengan adendum kelima dalam setiap aturan adendum sebelumnya", jelas M. Ridjal Adelansyah S.
Dilain sisi menurutnya, jika kita melihat secara kontekstual, yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) Perjanjian Adendum Kelima, bertujuan untuk menghilangkan secara esensi sifat dan bentuk perjanjian kerjasama terdahulu.
Ketentuan Adendum kelima di Pasal 7 ayat (1) sangat bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik, dimana roda pemerintahan yang baik dalam hal pengolahan barang milik Negaraatau Daerah, dilaksanakan menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 Tentang pengolahan barang milik Negara atau Daerah. Didalam Pasal tersebut menjelaskan bahwa :
“Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai”
Adendum kelima dibuat dalam kurun waktu satu tahun setelah kebakaran pasar sentral makassar pada tahun 2011, artinya perjanjian kerja sama sudah berjalan selama 20 tahun, dan tersisa kurang lebih 5 tahun lamanya, dapat dipastikan perjanjian tersebut berakhir pada tahun 2017.
Seharusnya pemerintah saat ini mampu mengembangkan dan mengelolah Pasar Sentral Makasaar secara mandiri. Sebab kewajiban pihak pengembang sebagai pemegang hak pengelolaan sejak berakhirnya perjanjjian kerjasama harus mengembalikan bangunan beserta fasilitasnya dalam keadaan utuh.
Lanjutnya lagi, upaya penyediaan percepatan terhadap pelayanan publik bukanlah tolak ukur utama dalam menciptakan roda pemerintahan yang baik. Sebab realisasinya bergantung pada kondisi maupun fakta yang ada dilapangan.
Minimnya pengawasan terhadap pihak swasta dalam hal pengelolaan barang milik Negara atau Daerah, adalah sumber masalah yang terjadi saat ini, khususnya kasus yang ada di Pasar Sentral Makassar. Prinsip transparansi dan akuntabilitas publik sangat jarang diterapkan oleh karena tarik ulur kepentingan antara satu dengan yang lainnya, sebagai dampaknya penggunaan terhadap fasilitas yang disediakan untuk pihak ketiga, tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
"Bukankah Tupoksi pengadaan kerjasama ialah pemberdayaan dan peningkatan kualitas masyarakat", kata M. Ridjal Adelansyah S.
Hal yang sama diungkapkan Rustam Bur Andi Patahangi (Andi Uttang) yang juga merupakan salah satu pedagang sekaligus Ketua Harian Asosiasi Pedagang Pasar Sentral Makassar (APPSM), tentang Anomali Adendum Kelima mengatakan bahwa setelah kebakaran yang terjadi ditahun 2011 dan pada tahun 2014, belum ada satupun pihak yang dapat membuktikan apa penyebab utama terjadinya kebakaran.
"Bagi saya menguak fakta tersebut adalah salah satu cara untuk menyelesaikan kasus yang begitu gramatikal. Tidak progresnya penegak hukum dan pemangku kebijakan untuk mengetahui penyebab terjadinya kebakaran, berdampak pada lahirnya pelbgai implikasi dan penerapan instrument baru. Sebut saja, Lahirnya adendum ke lima terhadap kontrak kerjasama antara Pemerintah Kota Makassar dengan PT. Melati Tunggal Inti Raya", cetusnya.
Sambung Ketua Harian Asosiasi Pedagang Pasar Sentral Makassar (APPSM), jika di kaji dalam prespektif hukum, lahirnya adendum ke lima terhadap perjanjian kontrak kerjasama antara pemerintah Kota Makassar dengan PT. Melati Tunggal Inti Raya sah-sah saja. Sebab menurut peraturan perundang-undangan, setiap kepala daerah memang diberikan kewenangan untuk mengurus wilayahnya masing-masing. Akan tetapi hal itu bisa saja menimbulkan konflik apabila dalam hal penerapan kebijakan publik, kepala daerah lalai terhadap prinsip-prinsip bagaimana menjalankan roda pemerintahan yang baik.
"Lihat Pasal Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah", tandas Rustam Bur Andi Patahangi yang juga biasa disapa Andi Uttang.
Menurutnya kerjasama anatar pemerintah kota Makassar bersama PT. MTIR yang dibuat sejak tahun 1991 selama 25 tahun. Adendum kelima dibuat dalam kurun waktu satu tahun setelah kebakaran pasar sentral makassar pada tahun 2011, artinya perjanjian kerjsama sudah berjalan selama 20 tahun, dan tersisa kurang lebih 5 tahun lamanya. Pada prinsipnya yang tertuang dalam adendum kelima adalah proses perpanjangan kontrak antara pemerintah Kota Makassar dengan PT. Melati Tunggal Inti Raya. Selain daripada itu dengan adanya adendum kelima, Tupoksi perjanjian kerjasama antara Pemerintah Kota Makassar dengan PT. Melati Tunggal Inti Raya (PT.MTIR) bergeser 90 derajat, maka hal ini menimbulkan dampak yang sangat Negatif.
Berdasarkan perjanjian yang dibuat pada tahun 1991 Pasal 10 ayat (2) menjelaskan bahwa:
"Setelah berakhirnya masa kerjasama tanpa proses dan tuntutan ganti rugi atau tuntutan apapun juga, maka tanah dan bangunan berikut fasilitasnya menjadi milik pihak pertama dalam keadaan baik dan terawat"
Pasal diatas sebut Andi Uttang sangat jelas, bahwa prinsip yang tertuang dalam perjanjian yang dibuat pada tahun 1991 adalah perjanjian BOT (Build, Operate and Transfer), Artinya Prinsip Bangun Guna Serah. Artinya setelah perjanjian kontrak kerjasama berakhir, PT. MTIR wajib mengembalikan bangunan tersebut kepada Pemerintah Kota Makassar.
Lalu bagaimana dengan prinsip yang dimuat dalam Adendum kelima?
Pada Pasal 7 ayat (1) Ademdum Kelima, dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa :
Dengan ditandatanganinya perjanjian ini, maka para pihak sepakat bahwa hal-hal dalam perjanjian kerjasama Nomor 44/511.2/SP/HK tanggal 26 Juli 1991beserta adendum yaitu masing-masing secara berurut adendum nomor : 140/511.2/SP/HK tanggal 28 Desember 1991, Adendum kedua nomo; 511.2/118/SP/HK tanggal 5 Mei 1993, Adendum ketiga nomor; 511.2/039/S.Perja/HK Tanggal 20 Maret 1995 yang bertentangan dengan apa yang diatur dalam perjanjian ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pertanyaannya, Pasal manakah yang dianggap bertentangan, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui Pasal manakah yang dianggap tidak lagi berlaku dalam adendum sebelumnya.
Suatu perjanjian yang dibuat secara sah itu berlaku sebagai undang-undang, sehingga dalam perumusan perjanjian itu harus mudah dimengerti oleh masing-masing pihak, agar tidak melahirkan interpretasi yang berbeda.
"saya sangat mengharapkan kepada Petugas Pelaksana Pemerintah Kota Makassar saat ini, untuk mempertimbangkan perpanjangan atau pemberian Hak pengelolaan terhadap Pihak Pengembang Pasar Sentral Makassar saat ini, sebab dalam hal penyediaan dan pelayaan publik oleh PT. Melati Tunggal Inti Raya sangat bertentangan dengan prinsip – prinsip pemerintaha yang baik, yang seharusnya di jalankan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai", tutup Ketua Harian Asosiasi Pedagang Pasar Sentral Makassar (APPSM) Rustam Bur Andi Patahangi atau Andi Uttang yang juga merupakan salah satu pedagang sekaligus. (Zul).